Radio BNR Online

Senin, 12 Desember 2011

Sejarah Reggae Indonesia

Reggae Di Indonesia


Reggae yang Tidak Harus Rasta :
Reggae dan rasta

Di Indonesia, reggae hampir selalu diidentikkan dengan rasta. Padahal, reggae dan rasta sesungguhnya adalah dua hal yang berbeda. "Reggae adalah nama genre musik, sedangkan rasta atau singkatan dari rastafari adalah sebuah pilihan jalan hidup, way of life," ujar Ras Muhamad (23), pemusik reggae yang sudah 12 tahun menekuni dunia reggae di New York dan penganut ajaran filosofi rasta. Repotnya, di balik ingar-bingar dan kegembiraan yang dibawa reggae, ada stigma yang melekat pada para penggemar musik tersebut. Dan stigma tersebut turut melekat pada filosofi rasta itu sendiri. "Di sini, penggemar musik reggae, atau sering salah kaprah disebut rastafarian, diidentikkan dengan pengisap ganja dan bergaya hidup semaunya, tanpa tujuan," ungkap Ras yang bernama asli Muhamad Egar ini. Padahal, filosofi rasta sesungguhnya justru mengajarkan seseorang hidup bersih, tertib, dan memiliki prinsip serta tujuan hidup yang jelas. Penganut rasta yang sesungguhnya menolak minum alkohol, makan daging, dan bahkan mengisap rokok. "Para anggota The Wailers (band asli Bob Marley) tidak ada yang merokok. Merokok menyalahi ajaran rastafari," papar Ras.

Ras mengungkapkan, tidak semua penggemar reggae adalah penganut rasta, dan sebaliknya, tidak semua penganut rasta harus menyenangi lagu reggae. Reggae diidentikkan dengan rasta karena Bob Marley—pembawa genre musik tersebut ke dunia adalah seorang penganut rasta.

Ras menambahkan, salah satu bukti bahwa komunitas reggae di Indonesia sebagian besar belum memahami ajaran rastafari adalah tidak adanya pemahaman terhadap hal-hal mendasar dari filosofi itu. "Misalnya waktu saya tanya mereka tentang Marcus Garvey dan Haile Selassie, mereka tidak tahu. Padahal itu adalah dua tokoh utama dalam ajaran rastafari," ungkap pemuda yang menggelung rambut panjangnya dalam sorban ini.
Pemusik Tony Q Rastafara pun mengakui, meski ia menggunakan embel-embel nama Rastafara, tetapi dia bukan seorang penganut rasta. Tony mencoba memahami ajaran rastafari yang menurut dia bisa diperas menjadi satu hakikat filosofi, yakni cinta damai. "Yang saya ikuti cuma cinta damai itu," tutur Tony yang tidak mau menyentuh ganja itu.

Namun, meski tidak memahami dan menjalankan seluruh filosofi rastafari, para penggemar dan pelaku reggae di Indonesia mengaku mendapatkan sesuatu di balik musik yang mereka cintai itu. Biasanya, dimulai dari menyenangi musik reggae (dan lirik lagu-lagunya), para penggemar itu kemudian mulai tertarik mempelajari filosofi dan ajaran yang ada di baliknya.

Seperti diakui Hendry Moses Billy, gitaris grup Papa Rasta asal Yogya, yang mengaku musik reggae semakin menguatkan kebenciannya terhadap ketidakadilan dan penyalahgunaan wewenang. Setiap ditilang polisi, ia lebih memilih berdebat daripada "berdamai". "Masalahnya bukan pada uang, tetapi praktik seperti itu tidak adil," tandas Moses yang mengaku sering dibuntuti orang tak dikenal saat beli rokok tengah malam karena dikira mau beli ganj


SOSOK RASTAMAN DI INDONESIA





Kata reggae sebenarnya berasal dari logat afrika dari kata “ragged” yaitu gerakan seperti menghentak badan saat orang menari dengan iringan musik ska atau reggae. Reggae sendiri dipengaruhi oleh musik R&B, ROCK, CALYPSO,RHUMBA serta musik khas jamaika yang disebut mento. Irama reggae sendiri berasal dari musik ska, yang cenderung memberi tekanan pada nada-nada lemah serta hentakan ritmik drum yang komplek. Tetapi ada yang membedakan musik ska dengan reggae,yaitu tempo musik reggae sedikit lebih lambat dan menonjolkan vocal yang yang berat seperti pada musik-musik chant serta diiringi oleh tetabuhan, cara menyanyi dan mistik dari rastafari.
Mengapa musik reggae itu terkesan dengan penampilan yang nggimbal ataupun lusuh? Kita telaah saja dari asal-muasal musik reggae yaitu berasal dari jalanan getho”perkampungan kaum rastafarian” di daerah jamaika. Mungkin hal itulah yang menyebabkan gaya rambut gimbal menghiasi para musisi di awal perjalanannya dan sarat dengan ajaran-ajaran rastafarian yang meng ”idealisaikan” kebebasan, perdamaian, keindahan ala dan gaya hidup bohemian.
Di indonesia sendiri.

,

musik ini di pelopori oleh imanez kemudian di susul oleh bung tony q. Musik yang dibawakan oleh keduanyapun sungguh kental dengan gaya-gaya musik bohemian, dengan irama real reggae, beliau sanggup mewarnai jajaran musik indonesia. Dia pun mucul sebagai pelopor band-band reggae lain, seperti steven and coconut trees yang mengusung musik reggae yang lebih modern. Jadi buat orang-orang yang masih awam dengan musik ini, janganlah berprasangka buruk kepada orang-orang yang mencintai musik ini (termasuk saya)hehehehehehe. Mungkin penampilan mereka terlihat apa-adanya dan agak berantakkan tetapi sesungguhnya dibalik itu semua terdapat filosofi-filosofi dari unsur kesederhanaan, kebebasan dan perdamaian.

 Tony Q' Rastafara





WAWANCARA

Anak kampung yang berontak dari pabrik kaleng.
Memilih hidup dan bermusik di jalanan. Walau digasak dan dicemooh orang, tetap memilih reggae sebagai jalan hidupnya. Lagu-lagunya direkam Putumayo label tersohor dunia untuk world music. Sohor di ajang festival di Amerika tetapi selalu ditolak Kedutaan Amerika di Jakarta ketika mengurus visa.
Inilah reggaeman kita yang selalu bersahaja



SELALU ada berita baru tentang reggae dari Tony Q Rastafara. Selalu ada album atau master musik reggae di dalam tas kecilnya yang akan diperlihatkan kepada orang yang tertarik mencari tahu apa yang kini dikerjakannya. Atau sebuah buku, Bob Marley: Rasta, Reggae, Revolusi yang agak lusuh karena sering dibaca dari tangan ke tangan, dibahasnya bersama beberapa kawan di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan kebetulan dia memberi komentar singkat di sampul belakang. Tony Q, memang reggaeman yang bersemangat!


Kadang dia menghilang dari Jakarta beberapa bulan untuk melakukan konser di beberapa kota di Jawa dan Bali. Biasanya digelar di kampus-kampus, atau bar dan cafe. Kadang langkahnya panjang hingga mancanegara, “Aku mau berangkat ke Aus, nih!” katanya lewat telepon seluler, suatu kali. Maksudnya pergi ke Australia untuk melakukan mixing di Sound Warp untuk album barunya, Anak Kampung, yang akan dirilis dalam waktu dekat ini.
Selama tigapuluh tahun karir musiknya, Fullwood pernah bekerjasama dengan Bob Marley, Peter Tosh, Black Uhuru, Gregory Isaacs hingga The Mighty Diamondas. Setahun yang lalu, Fully Fullwood dan kawan-kawannya di band Tosh Meets Marley sempat melakukan tur konser di Pekan Raya Jakarta (PRJ) dan Bali. Di belakang panggung konser, Tony Q diperkenalkan kepada Fully Fullwood dan kawan-kawan, serta manajer Mark Miller.
Tiba-tiba saja scene reggae di tanah-air heboh melihat kedekatan Tony Q dengan Fully Fullwood yang kemudian berujung bekerjasama membuat sebuah album.

Sekembali Tony Q dari Australia, BATAVIASE NOUVELLES menemuinya di Wapres pada suatu petang. Sambil menyeruput kopi pahit dan menghisap rokok kretek dengan diselingi senda gurau, lagi-lagi Tony Q bersemangat menjawab BATAVIASE.
Dari kejadian itu, lama-lama gue baru mengerti, ternyata orang Amerika itu sangat apresiatif dengan musik reggae Indonesia. Prof. Ann, misalnya, selalu memberi gue dorongan terus berkarya. Ketika dia dengar musik gue yang ada elemen musik Sunda, Jawa atau daerah lainnya di Indonesia, dia bilang, itu musikmu enggak ada di Amerika atau Afrika.
Budaya kita kan unik, sejarahnya panjang. Dia akhirnya mengirimkan lagu-laguku kepada Putu Mayo World Record, perusahaan yang berbasis di New York. Satu lagu gue, Pat Gulipat, masuk dalam kompilasi World Reggae berjudul Reggae Playground bersama musisi reggae dunia.
Gue langsung terharu sekaligus bangga, akhirnya musik reggae Indonesia diakui secara internasional.
Tony Q tak pernah menduga lagunya masuk dalam kompilasi Reggae Playground, bersanding dengan Rita Marley, istri Bob Marley dan Judy Mowatt, penyanyi latar The Wailers band Bob Marley, selain itu beberapa musisi yang mengisi album itu antara lain Johny Dread (Kuba), Eric Bibb (Amerika), Alan Schneider (Prancis), Modusta Largo (Maroko), The Burning Soul (Jamaika), Marty Dread (Amerika), Kal Dos Santos (Brasil), Asheba (Trinidad) dan Toot and The Maytals, band lawas dari Jamaika yang melahirkan kosakata “Reggae” ke dunia ini. Seluruh penjualan album ini diperuntukkan pembangunan sekolah taman kanak-kanak di Jamaika. Sebuah program yang bekerjasama dengan Perserikatan Bangsa-bangsa dan Rita Marley Foundation.

Bagaimana Anda melihat perkembangan musik reggae di Indonesia, yang sekarang lagi booming?

Gue selalu mendukung kawan-kawan yang bikin band reggae. Dan selama ini juga gue didukung kawan-kawan. Untuk desain sampul album Anak Kampung, yang bikin Ibnu Hibban, yang sudah menonton band gue sejak dia masih SMP. Sekarang dia sudah sarjana, lulusan jurusan seni rupa Institut Kesenian Jakarta. Cover Anak Kampung adalah skripsi Ibnu, dapat nilai A. Gue kan selalu mendukung sesuatu yang positif, kuncinya asal dikerjakan dengan senang hati semua akan berkembang. Setiap gue ngeband selalu ngajak band-band yang baru untuk jam-sesion. Di musik reggae itu nggak ada jarak, tua-muda saling mendukung. Gue nggak pernah menduga perkembangan reggae di masyarakat seperti sekarang ini, walau media masih memperlakukan seperti anak-tiri, kalau mau dibandingkan dengan musik rock atau pop. Sebagai pelaku reggae, gue akan terus bekerja, berkarya, bikin album…SALAM REGGAE MANIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar